doom-spending-belanja-gen-z-latte-factor

Doom Spending yang Mengancam Gen Z, Benarkah Cuma Bentuk Pelarian dari Stress?

Dalam beberapa waktu terakhir ini, doom spending Gen Z lagi jadi salah satu fenomena yang mendapatkan perhatian lebih. Sebenarnya apa itu doom spending yang melanda Gen Z?

Fenomena ini bukan hanya tren penggunaan bahasa gaul. Melainkan sudah menjadi sebuat perilaku yang dianggap meresahkan karena seringkali tidak terkontrol dan berujung pada masalah finansial.

Lalu, apa sebenarnya doom spending Gen Z ini, mengapa hal ini terjadi, dan bagaimana cara mengatasinya? WaniMoni akan mengulasnya lebih dalam.

Apa Itu Doom Spending?

Istilah ini diambil dari kata “doom” yang berarti kehancuran atau akhir yang suram, dan “spending” yang berarti pengeluaran.

Secara sederhana doom spending adalah perilaku belanja yang dilakukan secara impulsif sebagai bentuk pelarian dari rasa cemas, stres, atau ketidakpastian di masa depan.

Daripada membeli barang yang benar-benar dibutuhkan, seseorang yang mengalami doom spending cenderung membeli barang secara berlebihan, tanpa perencanaan, dan seringkali disertai rasa penyesalan setelahnya.

Jadi, doom spending itu cenderung emosional karena ia tak mampu mengendalikan dorongan untuk membeli sesuatu, meskipun tahu hal itu dapat memperburuk keadaan keuangannya.

Mengapa Gen Z Rentan Terhadap Doom Spending?

Generasi Z adalah generasi yang tumbuh dengan teknologi dan media sosial, yang secara tidak langsung memberikan tekanan sosial dan psikologis yang besar.

Beberapa faktor penyebab doom spending Gen Z, antara lain adalah:

1. Trend Konten di Medsos Ikut Mendorong.

Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube dipenuhi dengan konten tentang gaya hidup mewah, fashion hits, gadget terbaru, dan berbagai tren konsumerisme.

Hal ini seringkali menciptakan tekanan sosial untuk terus mengikuti tren tersebut agar merasa tidak ketinggalan di arus zaman.

Dorongan untuk terlihat serba up-to-date ini membuat banyak anak muda secara impulsif membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.

2. Pelarian dari Stres dan Kecemasan yang Melanda.

Gen Z juga hidup di era ketidakpastian global yang besar, mulai dari pandemi hingga krisis ekonomi dan perubahan iklim.

Rasa kecemasan dan stres yang timbul dari ketidakpastian ini membuat mereka mencari cara untuk melarikan diri, salah satunya adalah dengan berbelanja.
Doom spending menjadi bentuk kompensasi emosional yang memberikan rasa nyaman sementara. Mereka menjadikan budaya konsumerisme bagian dari healing.

3. Kebiasaan Belanja Online yang Begitu Dimudahkan.

Kehadiran e-commerce dan kemudahan belanja online membuat doom spending semakin sering terjadi. Dengan hanya beberapa klik, barang yang diinginkan sudah bisa sampai di depan pintu.

Bahkan, promo, diskon besar-besaran, dan kemudahan pembayaran dengan metode cicilan tanpa bunga semakin mendorong anak muda untuk berbelanja lebih banyak.

Akses yang begitu mudah inilah yang memperburuk kebiasaan belanja impulsif di kalangan Gen Z. Lagipula siapa tak suka diskon?

Dampak Buruk Doom Spending Gen Z.

Doom spending mungkin tampak tidak berbahaya pada awalnya, tetapi kebiasaan ini bisa berdampak serius, baik dari sisi finansial maupun kesehatan mental. Apa saja dampak dooom spending?

  • Timbulnya Masalah Keuangan Jangka Panjang.

Ketika kebiasaan ini tidak dikendalikan, pengeluaran bisa melebihi pendapatan, sehingga menimbulkan budaya paylater dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang lebih penting.

  • Penyesalan dan Stres yang Terlambat

Seseorang mungkin menyadari bahwa barang yang dibeli tidak benar-benar dibutuhkan, dan hal ini bisa memicu rasa stres dan kecemasan. Akumulasi penyesalan ini bisa berdampak pada kesehatan mental secara keseluruhan.

  • Perilaku Konsumerisme Kian Tak Terkendali.

Doom spending memicu budaya konsumerisme berlebihan dimana individu merasa kebahagiaan atau kepuasan hanya bisa didapat melalui pembelian barang-barang baru.

Padahal, hal ini justru menimbulkan lingkaran setan di mana keinginan untuk membeli terus muncul meski tidak ada kebutuhan yang mendesak.

doom-spending-gen-z-cara-mengatasi-konsumerisme

Bagaimana Cara Mengatasi Doom Spending pada Gen Z?

Meskipun doom spending terlihat seperti masalah yang sulit diatasi, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi perilaku ini:

1. Sadari Pemicu Emosional.

Langkah pertama dalam mengatasi doom spending adalah dengan menyadari faktor pemicu perilaku belanja impulsif. Apakah itu rasa cemas, stres, atau tekanan dari media sosial?

Dengan menyadari faktor emosional yang mendorong doom spending, seseorang bisa lebih mudah mengontrol dorongan untuk berbelanja.

2. Batasi Akses ke Platform Belanja Online.

Untuk mengurangi godaan belanja, ada baiknya membatasi akses ke platform e-commerce atau menghapus aplikasi belanja dari ponsel.

Selain itu, menunda pembelian dengan metode “keranjang belanja” selama 24 jam juga bisa membantu mengurangi keinginan belanja impulsif.

3. Buat Anggaran Keuangan yang Jelas.

Mengatur anggaran keuangan dengan jelas dan disiplin dalam mengikuti anggaran tersebut adalah cara efektif untuk menghindari doom spending.

Tentukan batas pengeluaran untuk kebutuhan sekunder seperti belanja online, dan pastikan prioritas pengeluaran tetap pada kebutuhan dasar dan tabungan.

4. Cari Aktivitas yang Menyenangkan.

Alihkan fokus dari belanja ke aktivitas lain yang dapat memberikan rasa puas dan rileks. Misalnya, berolahraga, mengikuti hobi baru, atau bersosialisasi dengan teman tanpa melibatkan kegiatan belanja.

Aktivitas yang positif akan membantu Gen Z mengurangi dorongan untuk berbelanja sebagai bentuk pelarian.

5. Perbaiki Mindset tentang Konsumerisme.

Mengubah cara pandang terhadap barang-barang konsumsi adalah langkah penting. Dengan begitu, Gen Z tidak akan terjebak pada budaya konsumerisme.

Alih-alih mencari kebahagiaan dari barang-barang materi, cobalah untuk lebih fokus pada hal-hal yang menghadirkan pengalaman, hubungan sosial, atau pencapaian personal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *