WANIMONI – Kekerasan pada anak di Indonesia terus meningkat. Baik itu kekerasan fisik maupun seksual. Lalu, apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak?
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 1.478 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia hingga Oktober 2023. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak menduduki angka tertinggi, yaitu sebanyak 615 kasus.
Selain itu, terdapat 303 kasus kekerasan fisik atau psikis, 126 kasus anak yang berkonflik dengan hukum, dan 55 kasus eksploitasi ekonomi maupun seksual terhadap anak.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) juga menunjukkan bahwa pada tahun 2022, sebanyak 32.687 perempuan melaporkan kekerasan yang dialaminya, dengan 25.053 di antaranya mendapatkan penanganan.
Tingginya angka ini memprihatinkan, terutama terkait kekerasan seksual yang masih sering dialami anak-anak di usia dini.
Dikutip dari Kompas.com, Psikolog Anak dan Keluarga, Tari Sandjojo mengungkapkan bahwa terdapat tiga faktor utama yang memicu meningkatnya kekerasan seksual pada anak dari sudut pandang psikologis:
1. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak remaja
Tari menjelaskan bahwa peran orang tua dalam fase remaja sangat penting, terutama untuk membangun keterbukaan dan percakapan tentang seksualitas.
Sayangnya, banyak orang tua yang menganggap fase remaja kurang penting dibandingkan masa kanak-kanak, sehingga menunda percakapan penting mengenai seksualitas.
Akibatnya, anak-anak tidak mendapatkan informasi yang tepat, sehingga rasa ingin tahu mereka tentang seksualitas tidak tersalurkan dengan baik.
2. Paparan teknologi dan informasi tanpa batas
Ketika orang tua tidak menyediakan ruang untuk percakapan terbuka, anak-anak remaja akan mencari jawaban sendiri melalui teknologi.
Tari menjelaskan bahwa saat anak merasa tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkan di rumah, mereka akan mencarinya melalui internet atau berkomunikasi dengan orang asing.
Kondisi ini bisa menyebabkan anak terpapar informasi yang salah mengenai seksualitas, sehingga rentan menjadi korban atau bahkan pelaku kekerasan.
3. Menurunnya empati akibat tekanan hidup
Tari juga menyoroti bahwa kondisi ekonomi keluarga dapat mempengaruhi psikologis anak. Dalam keluarga dengan kondisi sosial ekonomi rendah, tekanan hidup sering kali mengakibatkan kurangnya kemampuan untuk mengendalikan emosi dan berempati.
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini cenderung lebih rentan melampiaskan kemarahan mereka melalui tindakan kekerasan.
Untuk mencegah kekerasan seksual pada anak, Tari menekankan pentingnya perbaikan hubungan antara orang tua dan anak remaja.
Orang tua perlu lebih sering mengajak anak berbicara secara terbuka, mendengarkan, serta mengamati perubahan perilaku atau emosi anak sebagai langkah awal untuk mencegah kekerasan pada anak.